Belajar Hidup Dari Seorang Gadis Cacat Mental


.


Hidup dengan menanggung stigma yang telah melekat dari lahir, bukanlah perkara mudah. Siapapun itu, harus memiliki jiwa besar untuk kemudian menjalani hidup. Apalagi, dengan stigma yang menempel pada dirinya, bukan tidak mungkin orang-orang semacam ini kemudian akan menjadi sampah masyarakat.

Siapa kumpulan orang yang tidak dianggap seperti ini? Tentu saja adalah orang yang memiliki ketidakberuntungan secara fisik maupun mental, secara ekonomi maupun hubungan sosial.

Jika kemudian penulis hendak memperlihatkan foto di bawah ini, interpretasi apa yang akan muncul dalam benak para pembaca?

Gadis ini bernama Noni, lahir pada tanggal 30 September 1985 dan telah berusia sekitar 23 tahun sekarang. Ia tinggal di daerah Jembatan Hitam, dekat daerah Jembatan Lima serta menghabiskan waktunya sebagai pelajar di SLB Tri Asih di daerah Kampung Duri.

Apa yang membuat penulis kagum dengan sosok yang satu ini?

Selama proses wawancara dan bincang-bincang dengan gadis tersebut dan para anggota keluarganya, penulis menyadari bahwa gadis ini ternyata memiliki segudang presatasi yang patut dibanggakan, yang mungkin orang normal pun belum tentu bisa mendapatkannya.

Yang paling patut untuk dibanggakan adalah ketika gadis ini mewakili Indonesia untuk pergi ke Jepang dalam acara olimpiade yang dikhusukan untuk anak-anak yang memiliki keterbelakangan mental.

Gadis ini berhasil menang dalam bagian pidato bahasa Inggris. Selain itu, gadis ini juga berhasil bertemu mantan Presiden Amrika, Bill Clinton, dikarenakan ia pernah berkata kepada Bill Clinton seperti ini, “Terima kasih Pak Presiden, karena telah membantu Aceh.” Sungguh menakjubkan seorang anak yang memiliki ketidakberuntungan dalam hal mental, bisa melontarkan kata-kata semcam itu.

Selain itu, gadis ini juga pernah bertemu dengan Ibu Ani Yudhoyono untuk kemudian menitipkan salam kepada Presiden SBY, sebab hari itu beliau sedang berulang tahun. Ia juga sering untuk diundang pada acara-acara yang dilakukan oleh beberapa menteri. Diantaranya, ia pernah makan pagi bersama Bapak Aburizal Bakrie di rumahnya, bertemu dengan Suryadi Sudirja, mantan Gubernur DKI Jakarta, serta bertemu beberapa menteri lainnya. Orang normal pun belum tentu memiliki kesempatan bagus untuk bisa duduk bersama orang-orang dari jajaran kabinet Republik Indonesia.

Dukungan Keluarga
Saat penulis sedang berbincang dengan para anggota keluarga dari Noni, penulis mendapatkan sebuah pengakuan yang menarik dari salah seorang saudara sepupunya.

“Saat dia lahir (Noni), kami sekeluarga besar memang sudah mengetahui apa yang akan terjadi pada anak ini. Namun, kami kemudian ditekankan satu hal oleh para orang tua kami. Kira-kira seperti ini perkatannya, ‘apapun yang dialami oleh saudara kalian ini (Noni), kalian tetap harus mendukungnya, sebab bagaimanapun juga ia adalah saudara kalian.’ “

Dalam kesempatan yang sama, penulis juga semat mewawancarai dan berbincang banyak dengan bibi dan orang tua dari Noni. Setelah berbincang banyak mengenai prestasi yang telah diukir oleh Noni, salah satu bibi dari Noni ini berkata,

“Dukungan keluarga itu sangat penting untuk anak seperti ini. Tanpa adanya perhatian yang diberikan khusus kepada mereka, mereka tidak akan bisa maju. Dokter pun terkejut ketika mengetahui betapa cepatnya perkembangan Noni. Hal ini disebabkan karena kondisi keluarga yang tidak menganggapnya sebagai sebuah gangguan, melainkan sebagai tempat untuk mencurahkan kasih sayang secara lebih.”

Dalam kutipan perbincangan tersebut, dapat terlihat dengan jelas bagaimana pentingnya dukungan keluarga bagi pertumbuhan dan perkembangan anak-anak yang memiliki keterbelakangan mental. Hal ini bertujuan agar mereka kemudian tidak menjadi minder dan tetap dapat berkreativitas meskipun memiliki sebuah ketidakberuntungan.

Selain itu, penulis juga berkesempatan untuk mewawancarai Noni secara langsung. Hal pertama yang terlontar dari benak penulis adalah apakah adanya rasa minder pada diri sendiri dan bagaimana perasaan si gadis (Noni) ketika mendapat celaan dari orang lain. Jawabannya kira-kira seperti ini.

“Saya tidak pernah merasa kecil hati dengan diri saya. Jika kemudian ada orang yang mencela saya, memang pada awalnya saya sangat sedih. Namun, seiring berjalannya waktu, saya menyerahkan saja semuanya kepada Tuhan. Biar nanti Ia yang membalas.”

Kemudian, penulis juga menanyakan cita-cita yang hendak ia capai. Mengharukan sekali ketika penulis mendengar kata-kata yang terlontar dari mulutnya.

“Saya berkeinginan untuk menerbitkan sebuah buku dengan Bahasa Inggris yang berisi mengenai kebudayaan di Jepang. Memang, saya dibantu oleh beberapa orang yang akan merangkaikan kata-katanya. Namun, saya menyumbang ide terhadap tulisan tersebut.”

Ini adalah sebuah cita-cita sederhana yang dari seorang anak yang memiliki keterbelakangan mental. Hanya menciptakan sebuah buku.

Ternyata, membawa sebuah stigma itu memang bukan perkara mudah. Lingkungan sekitar adalah faktor utama mengapa membawa sebuah stigma itu tidak mudah. Namun, kita bisa belajar banyak dari anak yang memiliki ketidakberuntungan secara mental ini, yaitu bahwa ketika kita menyadari bahwa apa yang kita lakukan itu tidak salah namun kita tetap harus dijauhi oleh orang lain, kita harus bisa menerimanya dengan terus berdoa bahwa Tuhan akan memberi balasan yang setimpal.

Dari kejadian ini pun, seyogyanya kita belajar untuk bisa menerima diri kita apa adanya. Sebab di setiap kekurangan kita, pasti ada kelebihan yang mungkin memang belum tergali.


Your Reply