Benang Merah Imanensi Halusinasi dan Ekspektasi


.

” aku bermimpi karena aku seorang pemberani”

sebuah solilokui di senja itu:

“Beranikah aku alirkan perahu mimpiku di aliran payau sungai kedurjanaan yang dipenuhi riak-riak ketidakpastian?”

“Bukan hanya itu, aku akan menerbangkannya melintasi atmosfer tekad yang tebal, lindap senyap diantara kungkungan mega euforia yang berarak, dan mendudukannya manis di haribaan pelangi-pelangi ekspektasi…”


Ekspektasi, sbuah kata tunggal serapan yang ijika dirunut dari etimologinya,“expectation”

, berarti harapan, dugaan, taksiran. Sbuah kata yang kian hari kian banyak orang kehilangan selera makan, spirit untuk survive dan surutnya animo personal jika dihadapakan pada sepenggal kata sadur ini.

Secara umum, masyarakat proletar, umumnya meyakini bahwa kata ini tidak layak untuk mereka sajikan di drama hidup mereka, sebuah opsi yang tidak laik berkecamuk di pikiran dan hanya ada di awang-awang rasio. Seakan susah digapai oleh beragam daya, upaya, setara jika mereka mendaki sebuah menara adidaya yang menuntut sikap perfeksionis sebagai komposisi baku fondasi bangunan kokoh “Ekspektasi”. Mahfum jika secara kodrati, mereka merasa sinikal, alergi, bahkan antipati. Jangankan memujakan impian, visi, misi, atau rencana yang akan ditapaki, untuk menggenapi pekik sonar-sonar parau perut mereka pun tak mampu. Sungguh memilukan, mereka meng-alegorikan substansa jalan hidup mereka dengan celoteh yang menggiriskan hati, mendermakan realita penerimaan takdir pada kematian, menertawakan garis nadi pribadi karena pada dasarnya mereka adalah kaum yang kecut untuk bermimpi, kurang berani mendedikasikan hidupnya untuk menggauli ekspektasi. Mereka tak ubahnya seperti wanita-wanita pesolek yang mendambakan tubuh langsing-semampai, annorexia..maupun seorang yang enggan membunuh ketakutannya akan ketinggian, acrophobia..seorang yang mendeskriditkan kuman, germophobia..seorang yang ditenung roh-roh pengucilan diri, dan takut akan kerasnya dunia luar, agoraphobia..saya menyebut mereka dengan istilah, expectaphobia…apa bedanya??

Hidup mereka urung beranjak dari kurva kesengsaraan yang puncaknya diselimuti cendawan gulita ketidakpastian, bersimultan membentuk partikel-partikel keengganan dan mengarah ke titik nadir kemiskinan. Ironis, memang, tetapi mereka meyakini bermain aman sebagai sebuah idea logis yang cukup mumpuni, dengan menisbikan anatomi-anatomi mimpi yang menggelayut di kisaran nurani. Perlu ada restrukturisasi mental, penyekapan mental personal oleh pranata-pranata skolastik yang membabi buta di ranah intelektualitas yang memadai. Jalan hidup mereka tanpa dikomando memaparkan keambivalensian yang mudah ditemui dari beragam visualisasi piktoral.

Jika sudah begini, malamlah yang merampas kendali dari alam sadar mereka. Menggengam jemari lentik mereka dengan basuhan derasnya afeksi dan melanjutkan sinergi mimpi-mimpi ilogik mereka yang bertabur histeria. Mimpi sendiri diberikan sang Khalik sebagai bentuk pemuas bagi batin, atas apa yang tidak terjadi di panorama realita. Memang tidak semua tendensi mimpi merujuk ke hal ini, tetapi paling tidak, mimpi ini selalu hadir bak gunung utopia yang tiba-tiba dengan energi kataklismik yang dahsyat menyeruak ke permukaan, mendistorsi relung-relung imaji, menjalin fantasi, yang pada akhirnya menciderai kenyataan, bak kawanan Hyena di padang belantara sabana Afrika yang selalu mengendus peluang, tuk sebentar bercengkrama dengan sang waktu, memainkan perannya yang ambigu. Sekarang semua problem terletak di lengan tiap personal. Merangkai Halusinasi dan merealisasikannya, atau mengharubirukan prahara di samudra kekalutan mereka dan mendevastasikanya menjadi sbuah cinderamata kesia-siaan.

” Bahwa sesungguhnya pesaing yang paling berbahaya adalah seorang yang masih bermimpi ketika ia sudah terbangun” Satu lagi pedoman hakiki yang tidak dimiliki koloni proletar di setiap hirarki. Sebentar beranjak pulas, sebentar terbangun, mengernyapkan mata, dan mimpi itu tamat, tutup buku, mendeviasi menjadi sbuah klimaks sandiwara hidup. Tetapi seorang platonis yg ambisius tetap saja bermimpi ketika terbangun, tetap mengsinkronkan ambisi dengan konkretnya paradigma visi mereka.

Perbedaan sangat eksterm dialami kaum ini, seorang pemimpi sejati. Beragam kalangan mendefinisikan mereka sebagai komunitas pedantik, impresionis, maupun oportunistik sejati, tetapi toh merekalah petarung-petarung murni yang selalu mendompleng stigma negatif mengenai interpretasi harapan yang tidak metodif, tidak nyata. Mereka tak hentinya mendendangkan simfoni mental baja yang dulunya selalu dilanda krisis yang sangat antediluvium pada cara pandang personal. Akhir kata, selamat bagi umat manusia yang disetiap hembus nafasnya tampak gurat ekspektasi, berjubahkan gelagat amelioratif, berhunuskan tekad yang runcing terasah, merapal motivasi yang beradu di otak, berselempangkan motivasi bulat tuk selangkah lebih maju, yang punggungnya terbias spektrum rintik pelangi-pelangi imajiner, untuk terbang ke singgasana zenith yang agung.



” ketika ada harapan, disanalah merekah kehidupan. itu akan memenuhi kami dengan kekuatan dan keberanian baru”

(sebuah cuplikan dari “Diary of Anne Frank”, Karya seorang gadis kecil, ANNE FRANK, gadis Yahudi yang disekap di kamp konsentrasi Nazi, Jerman semasa perang dunia II)

(Sebuah diary terlaris sepanjang masa, tercetak lebih dari 30 juta kopi, dan diterjemahkan menjadi 60 bahasa)

“i don`t know why my fuckin` thought is so uncomprehensive….”

ziarahi mautku.rajam takdirku

Your Reply